Perbedaan itu rupanya membuat mereka mengasingkan diri dari kumpulan sosial sehingga tak pernah membangun koloni di daerah yang ramai. Konon, sikap tersebut sudah mereka lakukan sejak berabad silam saat Kerajaan Bugis masih jaya. Namun, oleh raja-raja zaman dahulu, kelainan tersebut sempat dianggap tanda kepemilikan kesaktian yang membuat mereka sering dipilih menjadi pengawal raja. Di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman, kaum To Balo seakan tenggelam ditelan kesunyian pelosok tempat tinggal mereka. Populasi ini kini tinggal segelintir. Maklum, menurut kepercayaan mereka, jumlah satu keluarga tak boleh lebih dari 10 orang. Jika tidak, keluarga ke-11 dan berikutnya harus mati. Entah dibunuh langsung atau dibuang ke suatu tempat sampai diyakini tak bernyawa. Satu di antara yang sedikit itu tersebutlah keluarga Nuru bin Rien. Bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, dia membangun sebuah gubuk di sebuah sudut Pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung, dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti, Desa Bulo-Bulo. Dari pekerjaan ini, mereka menerima duit yang tak seberapa. Tapi hasil itu sudah membuat senyum mereka tersungging. Cukuplah untuk membeli persediaan ikan asin selama sepekan dan sepasang sandal jepit yang sudah lama diidamkan Rakdak, putra sulung Nuru yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar. “Aku ingin jadi polisi,” kata Rakdak dengan tatapan mata lugu ketika ditanya soal cita-citanya. Sebuah keinginan sederhana bagi sebagian orang tapi bak bintang buat Rakdak dan keluarganya. Betapa tidak, Rakdak tak bisa setiap hari ke sekolah karena jarak yang harus ditempuh dari rumahnya dengan berjalan kaki sekitar tiga jam. Belum lagi kegiatan rutinnya. Saban pulang sekolah, bocah yang kini duduk di SD Instruksi Presiden (Inpres) Bulo-Bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten Barru, ini mesti menjaga adiknya. Kalau tidak, Rakdak menggembalakan kuda yang diberikan pemerintah setempat beberapa waktu silam. Kalaupun bisa belajar, dia tak memiliki peralatan yang lengkap. Pun penerangan hanya didapat dari sinar lampu teplok. Tapi seperti ketangguhannya menaklukkan alam sekitar, begitu pula semangat Rakdak untuk menjadi pintar. Setidaknya sampai sekarang dia tak meninggalkan status pelajar seperti yang dijalani anak-anak Tobalo yang akhirnya sibuk bermain dan membantu keluarga.
Kelainan yang diidap kaum To Balo bukanlah penyakit melainkan pembawaan gen. Namun, masyarakat setempat meyakininya sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Bukan hanya menonton, keluarga itu juga menegur dan mengusik kelakuan kedua kuda itu. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang atau balo. Ada pula kisah versi lain. Para kaum Tobelo percaya, manusia dan kuda turun bersama dari langit saat pertama bumi diciptakan. Artinya, hewan berkaki empat itu bersaudara dengan manusia. Nah, orang-orang yang percaya dengan cerita ini otomatis akan berkulit belang.
Kaum To Balo bisa keluar dari masalah kulit ini jika mereka menikah dengan orang lain yang punya gen kulit normal. “Selama ini kebanyakan mereka kawin antarmereka saja. Padahal terbukti, jika ada kaum To Balo yang kawin dengan orang di luar kelompoknya, sang anak akan berkurang belangnya”. Kelihatannya, perlu ada penyuluh yang menyambangi mereka ke dusun terpencil itu untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Agar mereka segera keluar dari keterkungkungan yang disebabkan perasaan berbeda dari manusia lain.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar