Dalam sejarah manusia, doping memang sudah dipakai sejak zaman dulu. Kala itu, orang Amerika dan Afrika memakan berbagai tumbuhan liar dan madu untuk kekuatan sebelum perang, berburu, dan melakukan perjalanan jauh. Pada Perang Dunia II, banyak ditemukan pil-pil amphetamine untuk mengatasi rasa letih dan ngantuk. Istilah doping pertama kali muncul pada 1889, pada suatu perlombaan balap kuda di Inggris. Sedangkan kata dope berasal dari bahasa salah satu suku di Afrika Tengah.
Korban pertama yang jatuh akibat pemakaian doping terjadi tahun 1886 saat atlet balap sepeda ditemukan tewas akibat terlalu banyak diberi zat yang mengandung trimethyl. Saat itu, zat-zat yang populer dipakai adalah caffeine, gula dilarutkan dalam ether, minuman yang mengandung alkohol, nitroglycerine, heroin, dan kokain. Akhirnya, peneliti menyimpulkan ada empat golongan obat yang termasuk ke dalam golongan doping, yakni psychomotor stimulants, symphatomimetic amines, central nervous system stimulants, dan narcotic analgesics.
Pada Kongres Ilmiah Olahraga Internasional yang diadakan pada saat berlangsungnya Olympiade Tokyo 1964, doping telah didefinisikan sebagai pemberian kepada, atau pemakaian oleh, seorang atlet yang bertanding, suatu zat asing melalui cara apa pun, atau suatu zat yang fisiologis dalam jumlah yang tak wajar, atau diberikan melalui cara tak wajar dengan maksud/tujuan khusus untuk meningkatkan kemampuan si atlet secara buatan dengan cara yang tidak jujur.
Meski sudah resmi dilarang, banyak atlet yang masih keukeuh memakai doping sebagai shortcut untuk memenangkan pertandingan. Selain itu, doping juga berbahaya bagi kesehatan si atlet sebab dapat menyebabkan timbulnya penyakit, cacat, bahkan kematian. Jadi, keuntungan yang didapat tidaklah seimbang dengan kerugian yang akan diderita bertahun-tahun kemudian. Belum lagi kalau ketahuan, si atlet dan pembinanya harus menanggung rasa malu.
Jenis obat yang masuk doping adalah golongan stimulan (perangsang), golongan narkotik analgesic, golongan anabolik steroid, golongan betablocker, golongan diuretika, serta golongan peptide hormons dan analognya. Selain itu, ada cara tertentu yang termasuk doping yaitu doping darah, manipulasi secara fisik, dan farmakologi. Adapun, bahan obat yang dibatasi adalah alkohol, mariyuana, anestesi lokal, dan kortikosteroid.
Salah satu jenis doping yang paling sering digunakan para atlet adalah obat-obatan anabolik, termasuk hormon androgenik steorid. Jenis hormon ini punya efek berbahaya, baik bagi atlet pria maupun atlet perempuan karena mengganggu keseimbangan hormon tubuh serta meningkatkan risiko terkena penyakit hati dan jantung. Khusus bagi atlet perempuan, pemakaian hormon ini akan menyebabkan tumbuhnya sifat pria, seperti berkumis, suara berat, dan serak. Lalu, timbul gangguan menstruasi, perubahan pola distribusi pertumbuhan rambut, mengecilkan ukuran buah dada, dan meningkatkan agresivitas. Bagi atlet remaja, itu akan mengakibatkan timbulnya jerawat. Yang terpenting, pertumbuhannya akan berhenti.
Zat doping lain yang digunakan biasanya oleh pemanah dan penembak dengan tujuan meningkatkan ketenangan, mengurangi tangan gemetar, menurunkan denyut jantung agar lebih mudah berkonsentrasi adalah obat yang tergolong betablocker. Obat ini digunakan dokter untuk mengobati penyakit jantung, yaitu mengurangi palpitation (jantung berdebar) dan menurunkan tekanan darah akibat tekanan darah tinggi.
Hal yang sering terjadi pada atlet wanita adalah pemakaian obat analgesic. Tujuannya jelas sebagai penghilang rasa sakit ketika haid menjelang. Tetapi, dampaknya jika salah memilih obat bisa mengakibatkan sulit bernapas, mual, kehilangan konsentrasi, dan mungkin menimbulkan adiksi atau kecanduan.
Pada beberapa jenis olah raga yang memiliki kriteria berat badan, misalnya angkat besi, atlet wanita atas kemauan sendiri atau arahan pelatihnya menggunakan diuretika, yang tujuannya mengeluarkan cairan tubuh. Banyak dan cepatnya pengeluaran air seni ini akan cepat menurunkan berat badan sebab 60 persen dari berat badan manusia terdiri atas air. Sayangnya, bersama itu akan terbawa keluar pula beberapa jenis garam mineral. Akibatnya, timbul kejang otot, mual, sakit kepala, dan pingsan. Pemakaian yang terlalu sering mungkin akan menyebabkan gangguan ginjal dan jantung.
Cara doping lainnya adalah menggunakan suntikan eritropoetin dan menyuntikkan darah. Kedua cara ini akan meningkatkan jumlah sel darah merah di dalam tubuh. Fungsi sel darah merah melalui hemoglobin adalah mengangkut oksigen. Dengan jumlah oksigen yang cukup bagi seluruh tubuh, proses pembakaran akan berjalan lancar sehingga energi yang dihasilkan akan bertambah.
Cara ini biasanya untuk atlet yang memerlukan daya tahan lama. Misalnya, untuk lari jauh, maraton, thriatlon, sky, berenang 800 m, dan balap sepeda jarak jauh. Namun, efek bahaya suntikan eritropoetin darah menjadi lebih pekat sehingga mudah menggumpal dan memungkinkan terjadinya stroke (pecahnya pembuluh darah di otak).
Doping dengan suntikan darah akan menimbulkan reaksi alergi, meningkatnya sirkulasi darah di atas normal, dan mungkin gangguan ginjal. Golongan obat peptide hormonis dan analognya dapat berakibat atlet menderita sakit kepala, perasaan selalu letih, depresi, pembesaran buah dada pada atlet pria, dan mudah tersinggung. Selain sejumlah kerugian tadi, dampak kejiwaan yang diderita atlet pengguna doping yang ketahuan adalah siksaan tersendiri. Banyak atlet pemakai doping yang menderita depresi.
{ 0 komentar... Views All / Send Comment! }
Posting Komentar